Thursday, December 22, 2011

Yang tak pernah berhenti...

tiap kali aku berkumpul dengan mereka ini, aku tahu aku akan merindukan masa lalu, dan bersyukur akan masa kecilku. Bau masakan khas dan semerbak aroma penggugah selera itu, bukanlah urutan pertama yang kusyukuri, walau itu termasuk dari bagian yang tersimpan di memori hingga katam.
Aku melihat masa lalu dan masa depan di dalam wajah mereka. Tak ada yang berubah secara fundamental. Ibarat whiskey dan tuak, tertata berderet di meja makan, tanpa kenal kelas. Kacang tojin dan pistachio juga berada dalam toples Kristal yang sama jenisnya.
Mereka tak pernah lupa siapa mereka sebelumnya. They never forget where they came here from. Tak pernah kehilangan identitas diri yang otentik walau mereka berada dalam kompleksitas dunia yang bergolak dengan segala perubahannya yang tak henti.
Ibarat tuak dalam gelas Kristal, dengan rasa dan aroma yang sama, hanya dalam kemasan yang lebih up to date.
Tapi tuak dan whiskey tak pernah membuat mereka lupa diri. Ada banyak batas dalam hidup ini yang harus kita patuhi. Menabrak segala aral adalah semangat milik jiwa petarung masa lalu seorang anak muda yang puber pertama. Usia bertambah mestinya semakin bijaksana, sebab tidak selalu kita minum whiskey karena kita menyukainya.
Aku belajar hal itu dari mereka. Sejauh apapun mereka terbang melihat kilau dunia, rumah adalah sarang yang memanggil pulang dan pasti selamanya akan jadi pusat perjalanan kehidupan. Rumah dengan lantai pualam mengalasi kursi rotan yang semakin buram mencoba melawan usia warna buatan.
Bersama mereka, aku rindu masa lalu. Ketika dunia hanya selebar langit biru di atas atap rumah berloteng kecil, tempat aku menaruh mimpiku yang terlalu dangkal. Di sana aku sering bermimpi. Terbang melintasi duniaku. Melayang dengan ringan di atas awan. Dan lalu aku terbangun di atas bantal berisikan kapas. Mimpiku singkat. Tapi aku tak pernah kapok. Banyak bermimpi bukan dosa. Bukan?
Dan bantal kapas itu kurindukan. Ketika mereka merengkuh bantal bulu angsa, kutahu mereka juga tak lupa bantal kapas itu. Tak banyak isi masa lalu bisa dibawa serta ke masa kini. Mungkin itu sebabnya orang sering merindukan masa lalu.
Aku tahu mereka juga rindu. Rindu sesuatu yang sesungguhnya tak pernah dilepaskan. Sesuatu yang tak pernah ditinggalkan. Dan aku belajar. Mungkin itulah sebabnya tuak dan whiskey, pistachio dan tojin, pualam dan rotan, akan menjadi seperti bantal kapas dan bantal bulu.
Semerbak aroma itu mengembalikan kesadaran bahwa kini kami hidup di masa kini. Jauh dari masa lalu yang sesungguhnya tak pernah sungguh kami tinggalkan. Musim berubah. Tahun berganti. Sosok dan sorot mata mereka selalu mampu membuatku serasa kembali ke rumah. Bukan di masa lalu, tapi masa kini, dan masa depan. Juga, di masa-masa dalam mimpi-mimpiku.
Yang tak pernah berhenti…
=18dec11=

No comments:

Post a Comment